Jumat, 02 September 2011

GURU BESAR ANCAM GULINGKAN REKTOR UI (ADA-ADA SAJA)

GURU BESAR ANCAM GULINGKAN REKTOR UI (ADA-ADA SAJA)

Apa yang terjadi di Universitas terbaik (Radar Depok, 3 September 2011) di Indonesia ini? Pemberian gelar DHC (Doktor Honoraris Causa) bidang Kemanusiaan dan IPTEK kepada Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdul Azis oleh Rektor UI Gumilar Rusliwa dianggap sebagian pihak (yang kalau boleh dibilang kontra dengan hal tsb) menyakiti perasaan rakyat Indonesia khususnya perasaan keluarga Ruyati.

Siapa yang disakiti? Menurut saya tidak memiliki relevansi dengan kasus tersebut. Sebagaimana ditandaskan oleh beliau (Gumilar) bahwa pemberian gelar tersebut sudah transparan dan akuntabel, dan ada panitianya.
Jadi mengapa kemudian Gumilar yang diserang? Harusnya panitialah yang harus dituju. Memang begitulah kenyataannya bahwa sering kali ketika kita berada di pihak yang kontra, agak sulit menerima keadaan (seakan kita buta).

Mengutip dari Radar Depok (tanggal yang sama), Gumilar mengajak mereka (yang kontra) agar berkomunikasi secara akademis. Mungkin maksud beliau disini adalah karena pemberian gelar tersebut melewati proses yang cukup lama, ada proses seleksi, pengkajian lalu penetapan; hal inilah yang perlu dijelaskan kepada mereka (yang kontra). Tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Dan walau saya tidak tahu menahu tentang proses tersebut siapa saja yang harus terlibat dalam mengambil keputusan; tapi menurut hemat saya bahwa sangatlah tidak dimungkinkan untuk meminta pemikiran dari semua civitas akademi di Universitas ternama ini. Hal tersebut senada dengan apa yang dikemukakan oleh Gumilar bahwa “Bukan berarti lantas seluruh dosen dan karyawan yang jumlahnya 6000 itu terlibat…” Mengapa tidak perlu dilibatkan? Tepat sekali pernyataan yang diberikan Gumilar: “…kan sudah ada panitianya.”

Mengapa baru sekarang gelar tersebut diberikan? Gumilar menegaskan bahwa tentang kapan gelar tersebut diberikan tergantung pada siapa yang menerima gelar tersebut. Terlebih lagi alasan karena kondisi kesehatan Raja Saudi tersebutlah yang menyebabkan ada rentang waktu yang cukup lama; dan baru pada bulan Ramadhan kemarin dapat dilaksanakan.

Jikalau dikaitkan dengan kasus Ruyati, mungkin karena gelar tersebut adalah bidang Kemanusiaan dan IPTEK. Ada kata “kemanusiaan”, mungkin inilah yang dianggap tidak sesuai (kurang pas). Tapi, pemberian tersebut sudah digodok jauh-jauh hari (bahkan tahun) sebelum kasus tersebut terjadi. Lantas apa salah? Lagi, pemancungan Ruyati menurut hemat saya barangkali sudah sesuai dengan hukum di Saudi. Jadi jangan salahkan yang memberi gelar tersebut. Siapa juga yang suruh dia bekerja jauh-jauh ke sana?

Menurut saya, hal itu sangat wajar, jadi marilah kita menyikapinya secara positif, karena apapun itu kalau kita mencoba berada pada posisi yang berlawanan arah (perspektif) maka hasilnya tidaklah jauh berbeda. Permasalahannya adalah keterbukaan kita untuk memandang bahwa langkah yang telah diambil pimpinan kita sebaiknya kita dukung (jika itu positif) atau kita berikan masukan demi suatu perbaikan di kemudian hari.
Jadi saya sebagai seorang civitas academia di Universitas terbaik ini hanya berharap baiklah para pemikir-pemikir kita ini mencoba memandang sesuatu dari sisi yang positif, jika ada kontra bukankah sebaiknya dapat diselesaikan melalui komunikasi yang akademis pula? Tidak perlu ada guling-menggulingkan, sikut-menyikut, sikat-menyikat dan apapun yang senada dengan hal itu.

Guru Besar memiliki hati dan jiwa yang BESAR.

Salam UI. (juniato276@gmail.com) September 3, 2011 @11:33 Pagi.