Kamis, 23 Desember 2010

Linguistics: Abad 20

123 Kata Mutiara (sorry for the forgotten source)

Cerita Lucu Part 2

Neurolinguistics : Language and the Brain

KEBUDAYAAN SEBAGAI SISTEM STRUKTURAL

KEBUDAYAAN SEBAGAI SISTEM ADAPTASI

KEBUDAYAAN SEBAGAI SISTEM TANDA

KEBUDAYAAN SEBAGAI SISTEM TANDA

Computerized Adaptive Test - CAT

SEJARAH SEBAGAI KAJIAN BUDAYA

SEJARAH SEBAGAI KAJIAN BUDAYA

Kumpulan Cerita Lucu

Kumpulan Cerita Lucu | Cerita Humor | Guyonan Seru, Versi 2.0
21 Januari 2010 — Abied

Sorry,,boleh copy..lupa sourcenya....sekedar berbagi saja...ok..

Berikut ini kumpulan cerita humor bagian 1, hanya pengen berbagi, kali saja bisa tersenyum setelah membaca cerita ini. Senyum itu ibadah kawan, jadinya bisa dapat pahala kalo bikin orang lain tersenyum. Maaf, sama sekali tidak ada niat untuk melakukan pencemaran nama baik terhadap setiap oknum, orang atau tokoh dalam cerita berikut. Lagian, saya hanya menjadi penyebar cerita ini. Orang yang nulis gak tau dah pada dimana. Semoga mereka dapat pahala dengan menebarkan senyum. Sekali lagi, semua kejadian dalam cerita ini adalah fiktif, jika ada kesamaan nama, tokoh atau karakter, hanya karena kebetulan semata.
Saya, Abied, dari sebuah tempat paling indah di dunia.
(Abied, adalah yang memuat tulisan ini, sekali lagi sorry..lupa sourcenya...)
Salam …

Pergi Ke Surga
Guru Sekolah bertanya pada murid2nya, “Siapa yang ingin pergi ke Surga, coba angkat tangan!”
Semua murid-murid di kelas itu mengangkat tangannya, kecuali seorang anak kecil.
Guru bertanya, “Kamu tidak ingin pergi ke Surga?”
Murid itu menjawab, “Tidak, bu Guru. Ibu menyuruh saya segera pulang ke rumah, tidak boleh pergi kemana-mana.”
Berita Buruk Dan Baik
Sehabis cuti, Direktur kembali ke kantornya.
“Pak Direktur,” begitulah sambutan hangat sekretarisnya,
“Ada 2 berita untuk Bapak. Yang satu buruk, dan yang satunya lagi baik.”
“Mulailah dengan berita buruk itu.”
“maaf Pak, sejak 2 minggu yang lalu, Bapak bukan direktur lagi.”
“Yang baik?”
“Kita akan punya anak.”
???!!
Terbukti
“Kenapa kamu berhenti dari pekerjaan terakhirmu?”
“Boss saya menuduh saya mencuri uang perusahaan.”
“Kenapa tidak kau suruh dia membuktikannya?”
“Sudah. Ternyata dia bisa.”
Memelas
Seorang anak berlari menemui ibunya di dapur.
Anak : “Bu, minta uang.”
Ibu : “Buat apa?”
Anak : “Itu, di depan rumah ada orang yang berteriak memelas.”
Ibu : “Apa teriakannya?”
Anak : “Bakso, Bakso!”
Takut
“Waktu anakmu kejatuhan buah kelapa, kenapa kamu tidak menolongnya?”
“Aku takut.”
“Takut apa?”
“Takut turun dari pohon kelapa yang aku panjat.”
Kenapa Indonesia Gak Maju-Maju
Bertahun-tahun, gue heran kenapa sih Indonesia “Kagak maju-2″ meski sudah merdeka 57 tahun. Tapi sekarang … gue sudah tahu alasannya.
Berdasarkan data statistik :
1. Jumlah penduduk Indonesia ada 237 juta. 104 juta diantaranya adalah para pensiunan. Jadi yang kerja cuma 133 juta.
2. Jumlah pelajar dan mahasiswa adalah 85 juta. Jadi tinggal 48 juta orang yang kerja.
3. Yang kerja buat pemerintah pusat jadi pegawai negeri ada 29 juta. Jadi tinggal 19 juta yang kerja.
4. Ada 4 juta yang jadi ABRI dan polisi. Jadi tinggal 15 juta yang kerja
5. Ada lagi yang kerja di pemerintahan daerah dan departemen2 jumlahnya 14,800,000. Jadi sisanya tinggal 200,000.
6. Yang sakit dan dirawat di Rumah Sakit di seluruh Indonesia ada 188,000. Jadi sisa 12,000 orang saja yang kerja.
7. Ada 11,998 orang yang dipenjara. Jadi tinggal sisa dua orang saja yang masih bisa kerja. Siapa mereka ???
Yaa… tentu saja GUE sama ELU !
Terus diantara kita kenapa???
ELU ‘kan lagi baca2 ginian
Jadi tinggal GUE SENDIRI YANG KERJA!!!!!!!
Pantes dech kalau begini Indonesia kagak maju-maju……….!!!!@@@#!#@!!
Balada Kaki 1000
Ada tiga friends, satunya kura2..satu lagi kodok.. terus satunya lagi uler kaki seribu. Suatu hari kura2 mengundang dua temennya kerumahnya buat pesta kecil2an. So.. mereka bertiga bikin pesta kecil di rumah kura2. Setelah asyik ngobrol, makan, minum and lain-lain…si kodok berkata : “Eh..dari tadi kayaknya ada yang kurang ya..elu pada ngerasa gak..Oh iya kita kok gak ngerokok ya..pantesan mulut asem banget nih..”
Kura2 : “iya ya..sorry gue lupa nggak nyediain rokok…kalo gitu lu beli aje deh ‘Dok..warungnya deket khan..!”
Kodok : “Lho koq gue sih.. khan tuan rumahnya elu ‘Ra..”
Kura2 : “iya sih.. tapi khan gue jalannya lambat.. kalo elu khan bisa cepet..!!”
Kodok : “Ah.. nggak bisa gitu donk!!..lagian kalo soal cepet..pasti si uler kaki seribu lebih cepet dari gue.. kakinya aja ada seribu!!!”
Kura2 : “Oh iya ya.. Elu aja deh yang pergi..uler Kaki seribu..”
Uler K.1000 : “koq jadi gue sih..”
Kodok : “Udah ..nggak apa-apa..elu aja.. buruan..”
Akhirnya si Uler K.1000 pergi juga untuk membeli rokok. Si Kodok dan Kura2 nungguin sambil ngegosipin artis-artis lokal. Lima menit menunggu…si Uler K.1000 belum dateng juga…10 menit..20 menit…satu jam…dan ternyata sampe tiga jam Uler K.1000 gak nongol2 juga.
Kodok : “Kooq Uler K.1000 nggak pulang2 ya..?”
Kura2 : “Iya nih..gue jadi kuatir..kita susulin aja yuk, Dok…!”
Kodok : “ayuk deh..!”
Tapi pas si kura2 buka pintu…ternyata uler K.1000 udah ada di depan pintu.
Kura2 : “Nah ni dia..!”
Kodok : “Iya nih dari tadi ditungguin juga…mana rokoknya..mulut gue udah asem banget nih..?!”
Uler K.1000 : “Boro2 rokok…jalan aja belom..!!”
Kodok : ” Haah belom jalan …emangnya dari tadi ngapain aja…?”
Uler K.1000 : “Yee..elu nggak liat gue lagi PAKE SEPATU..!!!!!”

Method is Dead, A Presentation on Prof. Kumaravadivelu's Macrostrategic

KEBUDAYAAN SEBAGAI SISTEM NORMATIF

SOAL UJIAN AKHIR SEMESTER
TEORI KEBUDAYAAN 2010

Soal no. 2

KEBUDAYAAN SEBAGAI SISTEM NORMATIF
(Soal dari Prof. Dr. Sulistyowati Irianto)






oleh:

Juniato Sidauruk
0906655282



PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM LINGUISTIK
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
UNIVERSITAS INDONESIA
Desember 2010
2. Kebudayaan sebagai Sistem Normatif (Soal dari Prof. Dr. Sulistyowati Irianto)
Uraian Soal: Dalam proses pembuatan hukum, sering sekali pengalaman perempuan dan orang miskin tidak diperhitungkan oleh para pembuat hukum. Demikianlah menurut aliran pemikiran Critical Legal Studies dan Feminist Legal Studies. Cobalah Sdr beri contoh dalam hal apa para pembuat hukum dan kebijakan mengabaikan pengalaman perempuan dan orang miskin tersebut?

Untuk dapat memahami kebudayaan sebagai sistem normatif khususnya dalam proses pembuatan hukum, maka perlu diketahui dulu tentang hukum itu sendiri. Hal yang digarisbawahi Irianto dalam perkuliahan bahwa kebudayaan merupakan sistem pengetahuan, sistem norma, untuk memahami kebutuhan dasar hidup manusia. Artinya, kebudayaan itu ada pada masyarakat, mengandung aturan atau pedoman dalam kehidupan saling berdampingan dengan orang lain. Disini, budaya dipandang sebagai sistem pengetahuan.
Kebudayaan suatu masyarakat terdiri atas segala sesuatu yang harus diketahui atau dipercayai seseorang agar dia dapat berperilaku dalam cara yang dapat diterima oleh anggota-anggota masyarakat tersebut. … Budaya adalah bentuk hal-hal yang ada dalam pikiran (mind) manusia, model-model yang dipunyai manusia untuk menerima, menghubungkan, dan kemudian menafsirkan penomena material di atas (Goodenough, 1971: 167).

Artinya, kebudayaan itu menjadi pedoman yang sifatnya baik bagi masyarakat. Untuk dapat melakukan kajian yang holistik terhadap budaya hukum, maka diperlukan suatu pendekatan dari aspek hukum empiris yang memungkinkan dapat berlakunya hukum di masyarakat. Kultur hukum atau budaya hukum (Legal Culture) adalah suasana pikiran sosial yang menentukan bagaimana hukum itu digunakan, dihindari, atau disalahgunakan (Irianto, 1999: 31). Dalam kaitan dengan budaya hukum Lawrence M. Friedman (1969: 225) membedakannya menjadi dua bagian, yaitu:
1. Budaya hukum eksternal yaitu budaya hukum dari warga masyarakat secara umum
2. Budaya hukum internal budaya hukum dari kelompok orang-orang yang mempunyai profesi di bidang hukum seperti hakim, birokrat dan lain-lainnya. Irianto (2006: 27) mengemukakan bahwa ada tiga poin utama dalam hukum yakni netralitas, objektifitas dan kepastian hukum.
Hukum menurut Friedman (1969) harus dilihat sebagai suatu sistem yang terdiri atas unsur struktur, substansi dan kultur atau budaya, dimana unsur-unsur yang satu dengan yang lainnya saling mempengaruhi dalam bekerjanya hukum pada kehidupan sehari-hari. Lapian dalam Ihromi (2007: 18) mengutip Apeldoorn (1954), menyatakan “Tujuan hukum adalah mengatur masyarakat agar berkeadilan dan damai. Mengeluarkan ide keadilan dari hukum akan mengakibatkan hukum sama dengan kekuasaan”
Pada prakteknya, proses pembuatan hukum hingga pada pelaksanaannya seringkali tidak memandang hukum sebagaimana adanya. Kaum perempuan seringkali menjadi “obyek” yang tertindas oleh hukum dan aparat penegak hukum. Untuk melihat hal ini, ada baiknya memahami teori gender yang bertolak pada paradigma feminisme yang mengikuti dua teori yaitu; fungsionalisme struktural dan konflik. Misalnya; perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Friedrich Engels memandang perempuan memiliki peran dan kontribusi yang sama dengan laki-laki. Marxisme memandang secara berbeda, bahwa penindasan perempuan dalam dunia kapitalis karena mendatangkan keuntungan.
Dari perbincangan hangat tentang gender inilah kemudian berkembang aliran-aliran Feminisme berikut ini: Feminisme Liberal, Feminisme Marxis, Feminisme Radikal, Feminisme Sosialis, Feminisme Teologis. Tentu, aliran ini muncul sebagai tanggapan atas perlakuan tidak menurut hukum dan kalaupun menurut hukum seringkali hukum itu sebetulnya tidak memandang sistem persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.
Saya mengambil contoh dari Nandari (2010: 1) tentang penanggulangan pelacuran ditinjau dari perspektif hukum dan gender di Bali. Para pembuat dan aparat penegakan hukum dan kebijakan mengabaikan pengalaman perempuan. Saya setuju dengan fakta yang dikemukakan Nandari bahwa pelacuran merupakan masalah yang tidak hanya melibatkan pelacurnya saja, tetapi lebih dari itu yaitu merupakan suatu kegiatan yang melibatkan banyak orang seperti germo, para calo, serta konsumen-konsumen yang sebagian besar pelakunya merupakan laki -laki yang sering luput dari perhatian aparat penegak hukum.
…Di Indonesia pemerintah tidak secara tegas melarang adanya praktek-praktek pelacuran. Ketidak tegasan sikap pemerintah ini dapat dilihat pada Pasal 296, 297 dan 506 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun dalam Rancangan KUHP 2006, khususnya Pasal 487 Bab XVI. Pasal-pasal tersebut dalam KUHP hanya melarang mereka yang membantu dan menyediakan pelayanan seks secara illegal, artinya larangan hanya diberikan untuk mucikari atau germo, sedangkan pelacurnya sendiri sama sekali tidak ada pasal yang mengaturnya. Kegiatan seperti itupun tidak dikelompokkan sebagai tindakan kriminal. Di Bali masalah pelacuran sangat diutamakan karena perbuatan tersebut bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma kesopanan maupun norma kesusilaan Nandari (2010: 1-2).

Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 7 Tahun 1993 tentang “Pemberantasan Pelacuran” jo Perda Nomor 2 Tahun 2000 sebagai dasar hukum untuk menanggulangi pelacuran di wilayah Kota Denpasar. Dalam pelaksanaannya, penanggulangan pelacuran lebih banyak dilakukan dengan menertibkan dan menangkap perempuan pelacur yang di lakukan oleh aparat penegak hukum, sedangkan laki-laki para pelanggan atau konsumennya jarang dan bahkan tidak pernah ditangkap atau luput dari perhatian aparat penegak hukum. Cara penertiban seperti ini menunjukkan adanya ketidakadilan gender, karena terdapat diskriminasi terhadap perempuan. Adanya ketidakadilan gender dapat menyebabkan sulitnya penanggulangan pelacuran, karena pelacur merupakan paradigma interaksi antara perempuan dan laki-laki diluar perkawinan.
Secara normatif diskriminasi terhadap perempuan telah dihapuskan berdasarkan Konvensi Wanita (CEDAW) yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang No.7 Tahun 1984. Namun dalam kenyataannya masih tampak adanya nilai-nilai budaya masyarakat yang bersifat diskriminatif. Hal tersebut dapat menghambat terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender dalam penegakkan hukum terkait dengan penanggulangan pelacuran (Nandari, 2010: 2). Yang menjadi harapan kita bersama yaitu …Penanggulangan pelacuran diharapkan berkeadilan gender baik dalam aturan hukum, penegakan hukum maupun dalam budaya hukum masyarakat Irianto (2003: 19).
Contoh terkait diungkap oleh Irianto (2003: 68) dengan terlebih dahulu mengemukakan:
…Beroperasinya berbagai macam aturan hukum dapat dilihat dari bagaimana aturan-aturan tersebut mempengaruhi perilaku orang. Dengan kata lain, konsepsi normative (tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh) …akan mempengaruhi perilakunya…

Dalam hal pengabaian hak perempuan, beliau mengangkat masalah hukum waris masyarakat Batak Toba. Saya tertarik dengan contoh ini, karena saya sendiri berasal dari daerah ini. Perihal hukum waris masyarakat Batak Toba. Irianto (2003: 73-74) mengutip pendapat Vergouwen (1986) ada tiga pokok hukum waris Batak Toba,…yaitu 1. …Suksesi dalam alur laki-laki, 2. Pertumbuhan atau percabangan hak ke alur laki-laki yang sejajar, 3. Pembagian untuk anak perempuan…berlainan dengan anak laki-laki, anak perempuan tidak mempunyai hak tertentu dalam warisan orang tuanya. Tetapi jika dengan baik-baik meminta bagian dari harta itu, maka ahli waris laki-laki, putra atau kolateral, harus menyetujui permintaan itu. Bagian harta yang diminta oleh anak perempuan ini bisa juga diberikan ketika ayahnya masih hidup.
Kemudian beliau (Irianto, 2003: 77) menegaskan bahwa:
…peraturan adat yang menyatakan bahwa perempuan bukan ahli waris, akan berdampak tidak menguntungkan bagi perempuan tertentu. Misalnya, bila seorang perempuan kawin dengan seorang laki-laki yang tidak memiliki harta (tergolong miskin) dan dia dikatakan tidak boleh mendapatkan bagian dari harta ayahnya, maka ia berada pada posisi yang tidak diuntungkan.

Artinya, …bahkan hukum negara yang sudah bersifat emansifatif pun, hanya terbatas pada tataran normatif saja dan tidak dalam kenyataan empirik. Hal itu disebabkan oleh 1. Hukum Negara bersifat ambigu dan kontradiktif, 2. Pengelolaan administrasi hukum yang kacau…, 3. Masih kuatnya hukum adat dan budaya hukum masyarakat yang tidak menempatkan perempuan sebagai ahli waris (Irianto, 2003: 301).
Maka sementara dipahami bahwa sebetulnya dalam hukum itu ada ketidakadilan. Ini dapat saja terjadi karena berbagai faktor. Ini merujuk pada Soerjono (2000: 15)
menyatakan untuk dapat terlaksananya suatu peraturan perundang-undangan secara efektif, dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor hukumnya sendiri, faktor penegak hukum (pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum), faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegak hukum, faktor masyarakat (yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan, dan faktor kebudayaan (yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup).

Faktor-faktor tersebut saling berkaitan erat satu sama lain, sebab merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur dari efektivitas berlakunya undang-undang atau peraturan yang dapat dikaji berdasarkan Teori Sistem Hukum dari Lawrence M. Friedman (1969:16) yakni substansi, struktur, dan budaya hukum.
Irianto (2003: 7) dengan merujuk pada Teori hukum berspektif feminis dari D. Kelly Weisberg (1997:18) menyatakan teori tersebut menginginkan adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan yang ingin mencari peluang kebebasan atau kemerdekaan untuk perempuan. Mungkin tepat jika saya merujuk pada Danardono dalam Irianto (2006 : 4) menguraikan bahwa konsep netralitas atau objektifitas hukum … berkeyakinan bahwa kepastian hukum hanya akan terwujud bila hukum dianggap sistem yang tertutup dan otonom dari persoalan moral, agama, filasafat, politik, sejarah dan semacamnya. Artinya bahwa objektifitas hukum selayaknya menjauhkan diri dari hal-hal yang otonom tersebut.
Akhirnya, saya mencermati bahwa dalam hukum ada aturan main yang sudah cukup jelas dengan harapan dapat diimplementasikan dengan basis pemikiran tentang martabat setiap insan khususnya perempuan. Namun pada kenyataannya, sangat jauh berbeda antara apa yang tersurat sebagai wujud hukum materiil-formil dan yang tersirat. Hakikat pelaksanaan hukum sering terlupakan atau “sengaja dilupakan” -- untuk menata kehidupan bermasyarakat sedapat mungkin lebih baik. Artinya hukum telah memberikan batasan yang lebih jelas tentang apa yang dapat diperbuat; di lain sisi juga membatasi ruang gerak perempuan. Menjadi tantangan bagi saya dan pembaca untuk mengimplementasikan dan mengangkat derajat, harkat, dan martabat perempuan Indonesia.

Daftar Acuan
Apeldoorn, L. J. van. 1954. Inleiding tot de Studie van het Nederlandse Recht. Cet. Ke-12, NV Uitgevers-maatschappij W. E. J. Tjeenk Willink, Zwolle.
Friedman, Lawrence M. 1969. The Legal System: A Sosial Science Perspective. Russel Soge Foundation. New York.
Goodenough, W.H. 1971 Culture, Language, and Society. McCaleb Module in Anthropology. Reading, Mass: Addison- Wesley.
Ihromi, Tapi Omas; Sulistyowati Irian to & Achie Sudiarti Luhulima. 2000. Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita. Alumni Bandung.
Irianto, Sulistyowati, 2003, Perempuan di antara berbagai pilihan hukum: studi mengenai strategi perempuan Batak Toba untuk mendapatkan akses kepada harta waris melalui proses penyelesaian sengketa. Yayasan Obor Indonesia.
Irianto, Sulistyowati, 2006, Perempuan & Hukum (Menuju Hukum Yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan), Bekerjasama dengan The Convention Watch, Universitas Indonesia dan Yayasan Obor Indonesia.
Lapian, L.M. Gandhi tentang “Gender dan Hukum” dalam Luhulima (2007) Bahan Ajar tentang Hak Perempuan: UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. Ed. 1. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Nandari, Ni Putu Sawitri. Penanggulangan Pelacuran Ditinjau Dari Perspektif Hukum Dan Gender. Fakultas Hukum Undiknas Denpasar. http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/ pelacuran%20sawitri.pdf. Diunduh pada 18 Des 2010 Pukul 20:50
Soerjono, Soekanto, 2002, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Weisberg, D.Kelly. 1997, Feminist Legal Theory, Foundations. Philadelphia, Temple University Press.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor…..Tahun-----Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Departemen Hukum dan HAM RI, 2006.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.
Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 7 Tahun 1993 tentang Pembrantasan Pelacuran di Kota Denpasar.

SEJARAH SEBAGAI KAJIAN BUDAYA

SOAL UJIAN AKHIR SEMESTER
TEORI KEBUDAYAAN 2010

Soal no. 5

SEJARAH SEBAGAI KAJIAN BUDAYA
(Soal dari Prof. Dr. Djoko Marihandono)






oleh:

Juniato Sidauruk
0906655282



PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM LINGUISTIK
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
UNIVERSITAS INDONESIA
Desember 2010
5. Sejarah sebagai Kajian Budaya (Soal dari Prof. Dr. Djoko Marihandono)
Pertanyaan: Mengapa penting memahami pendekatan Les Annales dalam menganalisis kajian budaya, khususnya dalam bidang sejarah dan bagaimana perkembangan selanjutnya khususnya dalam menganalisis kebenaran sejarah? Jelaskan pendapat Saudara!

Dalam bukunya The Nature of History, Arthur Marwick (1989) seorang Sejarawan Inggris melakukan kajian menyeluruh tentang perkembangan ilmu sejarah. Ketika memaparkan pendekatan yang dilakukan para sejarawan abad XX, ia menyebutkan Perancis sebagai tempat terjadinya perkembangan yang sangat signifikan dalam melakukan pendekatan yang yang baru dan sangat luas.
Hartojo (2003: 51-63) menjelaskan dalam tulisannya Strukturalisme Dalam Perkembangan Ilmu Sejarah bahwa Les Annales lahir pada tahun 1929 sebagai reaksi ketidakpuasan terhadap mazhab yang sudah ada sebelumnya yaitu mazhab methodique.
Ada tiga tokoh perintis mazhab Les Annales, yakni: Lucien Febvre, Marc Bloch (Sebelum PD II), dan Fernand Braudel (Setelah PD II). Untuk menjelaskan mazhab Les Annales, akan dibahas terlebih dahulu mazhab Méthodique yang ditolak oleh para pendiri Les Annales (Burke, 1990).
G. Monod, E. Lavisse, CH. Victor Langlois, dan CH. Seignobos merupakan tokoh kenamaan dibalik mazhab methodique (Burke, 1990). Para ahli itu adalah penganut paradigma Ranke yang mendefinisikan tujuan sejarah hanyalah untuk menunjukkan masa lalu sebagaimana adanya. Sejarah hanya dilihat dari apa yang tertulis di dalam arsip. Aliran ini juga disebut “positivistic” karena mendasari historiografi dengan fakta-fakta yang tercantum dalam dokumen. Karena kondisi ini, sejarah yang berkembang pada masa itu adalah sejarah negara, perjanjian, pertempuran, dan sejarah orang-orang besar lengkap dengan peristiwa-peristiwa besar yang terjadi karena perbuatan mereka.
Konsep pendekatan Les Annales dianggap penting dalam menganalisis kajian budaya, khususnya sejarah. Pentingnya pemahaman itu didasarkan pada ide, minat, dan gebrakan yang mereka lakukan terhadap pendekatan sejarah tampak lebih relevan dibanding dengan pendekatan sebelumnya, mereka tidak hanya mengacu pada arsip belaka. Relevansi pendekatan sejarah yang mereka terapkan dapat diklasifikasi atas tiga hal, yakni:
1. Les Annales, mazhab tandingan terhadap sejarawan mazhab méthodique atau kelompok positivisme. Pertentangannya berkutat pada historiografi, arsiparis yang menjadi keagungan Methodique. Oleh kaum Les Annales, dokumen dianggap tidak lagi sebatas apa yang tertulis pada kertas atau perkamen, tetapi lebih jauh harus menelusuri apa yang terkandung di balik yang tertulis: antara lain motivasi apa yang mendorong dan peristiwa apa yang terjadi sehingga terlahir suatu dokumen itu.
Dalam Combats pour l’histoire seperti dikutip oleh Antoine Prost bahwa sejarah tidak cukup hanya ditulis berdasarkan dokumen arsip saja. Sejarawan harus dapat membuat “bicara” sumber “bisu”. Ia juga menghendaki agar sejarah membuka diri terhadap ilmu lain, menggunakannya sebagai ilmu bantu dalam penelitian dan penulisan sejarah.
Artinya dengan lahirnya Les Annales, pintu ilmu pengetahuan untuk menggali sejarah lebih terperinci dapat diamati dari berbagai faktor untuk menemukan jawaban mengapa suatu peristiwa sejarah terjadi, apa penyebabnya dan akibatnya atau andilnya bagi kehidupan manusia.
2. Wacana politik yang ada dalam lingkup orang-orang besar kala itu tidak lagi sepenuhnya menjadi pusat perhatian tetapi sudah merambah ke seluruh aspek kehidupan manusia dalam masyarakat yang pluralis. Persentuhan Les Annales dengan realita dalam masyarakat masuk hingga ke dalam sistem ekonomi, struktur dan konjungtur, mentalitas, sejarah total, dan sejarah jangka panjang.
3. Oleh persentuhan tersebut, sejarah orang-orang kecil yang konon terpinggirkan sekarang dianggap memiliki nilai sejarah. Kenyataan bahwa struktur dalam suatu masyarakat dibentuk tidak hanya oleh penguasa dan orang-orang berpengaruh lainnya, tetapi juga oleh keberadaan masyarakat biasa.
Para sejarawan baru memfokuskan perhatian mereka kepada les peuples sans histoire orang kecil yang tidak punya sejarah. Mahzab ini mengembangkan sejarah sosial yang tak kenal pagar pembatas: ekonomi, struktur dan konjungtur, mentalitas, sejarah total, sejarah berjangka panjang.
Apa yang dikemukakan Les Annales ini jelas lebih komprehensif untuk diaplikasikan dalam penelitian selanjutnya terutama dalam kerangka kajian kebudayaan masa kini. Sebagai contoh, apabila sebuah benda yang dianggap memiliki nilai sejarah ditemukan di suatu daerah, tidak cukup hanya mendeskripsikan keberadaan benda itu seperti yang dimetodekan kaum positivisme, tetapi harus dilihat selanjutnya, mengapa, dan untuk apa benda itu dibuat. Demikian juga, analisis terhadap suatu perilaku unik sesorang atau kelompok masyarakat.
Berdasarkan konsep Les Annales, perilaku suatu masyarakat dapat dikaji berdasarkan kesejarahan dan mentalite yang dibawanya sejak masa lalu. Tokoh Les Annales (Lucian Febvre) menghendaki sejarah yang lebih mendalam, integral atau global, sejarah yang mencakup kehidupan manusia yang disebutnya sebagai sejarah total. Mentalité, jaringan kepercayaan yang kompleks, semangat zaman menjadi ciri karyanya, Ia menekankan agar sejarah tidak hanya membatasi pada dokumen arsip saja. Ranah Mentalite ini memang merupakan culture core yang sangat sulit diubah bahkan sangat tidak mungkin berubah. Ini lebih dekat pada sebuah ideologi suatu masyarakat. Misalnya, yang menjadi ciri khas orang Batak, yaitu ulos (kain tenun yang menjadi ciri khas orang Batak).
Jadi saya sangat sepakat dengan apa yang telah dikemukakan Bloch yang menyatakan bahwa sejarah berguna untuk memahami manusia untuk bertindak secara rasional. Diperlukan adanya pemahaman bukan hanya pada surface structure namun lebih jauh ke dalam deep structure atau mentalite ataupun ideologi. Dengan mengetahui kesejarahan itu, dengan mudah kita dapat menyesuaikan atau mencari langkah untuk mendekati dan berinteraksi serta membantu langkah-langkah pemerintah untuk melakukan suatu pembangunan dalam kerangka kebudayaan sehingga apapun langkah-langkah atau berupa kebijakan yang dihasilkan tidak akan merugikan suatu kelompok masyarakat.
Dalam hal ini, penelusuran mentalité masyarakat atas dokumen yang ada bukan semata-mata pada yang tersurat, tetapi juga yang tersirat atas keberadaan dokumen itu. Ditegaskan pula bahwa dokumen bukan hanya kertas dan perkamen, melainkan juga mata uang. Dokumen dapat memberi informasi yang lebih banyak daripada yang sekedar tercantum. Perhatian inilah yang membuat pendekatan mazhab Annales mampu mengungkap sejarah dan kebudayaan lebih terperinci.
Ilmu pengetahuan berkembang hingga terkadang borderless (tanpa batas) ruang dan waktu. Memang pengaruh dari Les Annales sejauh ini memberi hasil positif, namun tidak berarti mazhab ini terlepas dari kritikan. Kritikan terhadap Les Annales datang dari pendukung Post-modernisme. Faktor globalisasi yang borderless tersebut menelorkan doktrin Post-modernisme yang melihat adanya relativitas budaya. Marihandono (2008) dalam materi perkuliahan menggarisbawahi bahwa McCullagh menunjukkan pengaruh Postmodernisme dalam tiga aspek ilmu sejarah, yaitu:
a) metode yang digunakan dalam sejarah.
b) pengaruh budaya pada ahli sejarah.
c) penggunaan bahasa oleh ahli sejarah.
Sejarah adalah sebuah ilmu yang mempelajari peristiwa lalu umat manusia dan tidak terjadi dalam waktu singkat dan besar kemungkinan berdampak bagi kehidupan sesudahnya,
…Kita tidak dapat memahami kehidupan masyarakat lain hanya dengan cara memetakan budaya mereka, meskipun kita tidak dapat memahami bahkan mencatat peristiwa-peristiwa dalam dunia mereka tanpa memahami "model internal dari realitas" mereka (Keesing, 1971: 22).

Inilah keunikan dan peran sejarah. Mazhab Les Annales membuka kemungkinan untuk mengkaji sejarah sebagai sebuah gejala dalam jangka waktu panjang. Dalam mazhab Les Annales sejarah juga dipandang secara total dengan menghubungkannya dengan bidang ilmu lain. Hal ini tentu saja sangat berguna untuk membuktikan kebenaran dari sebuah peristiwa. Contohnya yaitu hubungan antara ilmu sejarah dengan ilmu arkeologi sebagai bidang ilmu yang sangat membantu dalam mencari kebenaran sejarah.
Apa yang saya pahami dengan paparan diatas diantaranya dengan pergeseran dari mazhab Methodique ke Annales secara lambat laun pandangan sempit seputar analisis sejarah mulai terkikis. Dari lingkungan orang-orang besar ke sejarah orang pinggiran membuka cakrawala baru sejarah hingga pada lintas sektoral dalam kehidupan manusia. Peristiwa sejarah yang pada mulanya hanya dikaji hanya berdasarkan rangkaian peristiwa-peristwa itu sendiri tanpa melihat latar belakang dan akar sosial dari peristiwa-peristiwa itu sehingga kebenarannya masih sangat bisa diperdebatkan, kemudian mulai diteliti dan dipelajari secara lebih mendalam dan komprehensif. Jadi, dengan Les Annales, mengapa suatu peristiwa terjadi, apa yang melatarbelakanginya, dan bagaimana itu terjadi, siapa yang berperan di balik suatu peristiwa, hingga apa dampak dari sejarah itu untuk kehidupan manusia masa selanjutnya; diungkap secara tuntas.
Kajian lintas ilmu dimungkinkan setelah lahirnya Les Annales. Artinya, apapun yang diperoleh dari pengungkapan fakta sejarah tersebut sudah semakin akurat dan telah mempertimbangkan banyak faktor dan melihatnya dari berbagai sisi keilmuan. Kenyataan ini menghasilkan pembuktian kebenaran sejarah lebih komprehensif dan akurat. Inilah yang membuat pendekatan Les Annales penting untuk dipahami dalam menganalisis kajian budaya khususnya dalam bidang sejarah tetapi tentu harus mengaitkan pengungkapan tersebut secara interdisipliner keilmuan.

Daftar Acuan

Burke, Peter. 1990. The French Historical Revolution The Annales School, 1929-1989. Cambridge: Polity Press.
Hartodjo, Kadjat. 2003. “Strukturalisme dalam Perkembangan Ilmu Sejarah.” Dalam Perancis dan Kita: Strukturalisme, Sejarah, Politik, Film, dan Bahasa. Irzanti Sutanto dan Anggari Harapan (ed). Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Keesing, R.M, Keesing, F.M. 1971. New Perspectives in Cultural Antrophology. New York: Holt, Rinehart & Winston.
Marihandono, Djoko. 2008. Kritik Terhadap Les Annales. Bahan Kuliah Teori Kebudayaan Program Pascasarjana Universitas Indonesia.

KEBUDAYAAN SEBAGAI SISTEM ADAPTASI

SOAL UJIAN AKHIR SEMESTER
TEORI KEBUDAYAAN 2010

Soal no. 6

KEBUDAYAAN SEBAGAI SISTEM ADAPTASI
(Soal dari Prof. Dr. Mundardjito)






oleh:

Juniato Sidauruk
0906655282


PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM LINGUISTIK
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
UNIVERSITAS INDONESIA
Desember 2010

5. Kebudayaan sebagai Sistem Adaptasi (Soal UAS dari Prof. Dr. Mundardjito)
Petunjuk: Uraikan perbedaan strategi adaptasi dari dua komuniti peladang di NTT (orang Iwanggette dan Lio) mengenai pengelolaan lahan dan pranata-pranata yang mengaturnya.

Sebelum menguraikan strategi adaptasi mengenai pengelolaan lahan dan pranata yang mengaturnya, terlebih dahulu saya paparkan beberapa pemikiran yang mendasarinya.Dari sudut pandang teori kultural, muncul beberapa pendekatan evolusionari/ekologis terhadap budaya sebagai sistem adaptif.
Perubahan kultural pada dasarnya adalah suatu proses adaptasi dan maksudnya sama dengan seleksi alam (Teori Charles Darwin tentang jerapah “The Survival of the Fittest”).
Manusia adalah hewan, dan seperti semua hewan-hewan lain, harus menjalankan satu hubungan adaptif dengan lingkungannya dalam rangka untuk tetap dapat hidup. Meskipun manusia dapat melakukan adaptasi ini secara prinsipil melalui alat budaya, namun prosesnya dipandu oleh aturan-aturan seleksi alam seperti yang mengatur adaptasi bioiogis (Meggers, 1971: 4).

Dari pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa kebudayaan itu sebagai sistem adaptif, dimana budaya berubah ke arah keseimbangan ekosistem. Namun kalau keseimbangan itu diganggu oleh perubahan lingkungan, kependudukan, teknologi atau perubahan sistemik yang lain, maka perubahan yang terjadi sebagai penysuaian lebih lanjut akan muncul melalui sistem kebudayaan. …karena itu, mekanisme umpan-balik dalam sistem kebudayaan mungkin bekerja secara negatif (ke arah self correction dan keseimbangan) atau secara positif (ke arah ketidakseimbangan dan perubahan arah) (Keesing, 1970: 8).
Teknologi, ekonomi secukup hidup (subsistence economy), dan elemen organisasi sosial yang terikat langsung dengan produksi adalah bidang pokok budaya yang paling bersifat adaptif. Dalam bidang inilah perubahan adaptif biasanya mulai dan dari sini mereka biasanya berkembang.
. . . Perlu mempertimbangkan keseluruhan budaya ketika menganalisa adaptasi. Secara dangkal mungkin dapat diterima bahwa perhatian dapat dibatasi pada aspek-aspek yang secara langsung berhubungan dengan lingkungan . . . (Tetapi) apakah analisis dimulai dari praktek-praktek keagamaan, organisasi sosial, atau sektor lain dari satu kompleks budaya, . . . (ini) akan . . . menampilkan hubungan-hubungan fungsional dengan kategori-kategori tingkah laku yang lain yang bersifat adaptif (Meggers, 1971: 43).

Bagaimana khasnya budaya-budaya manusia, meskipun terdapat diskontinuitas dalam evolusi makhluk hominid, telah dibincangkan dengan panjang lebar oleh Holloway (Holloway, 1969: 45) dan Alland (1972: 2, 5).
… kajian-kajian tentang kehidupan sosial makhluk manusia telah membawa kita kepada pandangan yang lebih jelas bahwa pola bentuk biologis tubuh manusia adalah "open ended", dan mengakui bahwa cara penyempurnaan dan penyesuaiannya melalui proses pembelajaran kultural (cultural learning) memungkinkan manusia untuk membentuk dan mengembangkan kehidupan dalam lingkungan ekologi tertentu (Keesing, 1970: 4).

Berdasarkan pemikiran di atas, saya akan memaparkan perbedaan strategi adaptasi dari dua komuniti peladang di NTT (orang Iwanggette dan Lio) seputar pengelolaan lahan dan pranata-pranata yang ada.
Terdapat tiga pandangan utama yang berkembang pada dua komuniti peladang di NTT, yakni:
1. Perbedaan pandangan environmental determinism dengan konsep linear causality,
2. Perbedaan pandangan environmental possibilisim dengan konsep limiting role, permissive, atau selective,
3. Perbedaan pandangan cultural ecology dengan resiprocal causality dan core culture.
Berikut ini uraian dari masing-masing pandangan dimaksud dan diikuti dengan kondisi terkini dari komuniti peladang di NTT berdasarkan pemahaman saya atas tulisan Remigius Dewa tentang “Perubahan Pranata Pengelolaan Lahan Pada Komunitas Peladang di Nusa Tenggara Timur: Kasus Lio dan Iwanggete di Pulau Flores”.
A. Pandangan environmental determinism dengan konsep linear causality
Antara lingkungan dengan kebudayaan pengaruhnya berlangsung linear atau satu arah, yaitu lingkungan fisik selalu berperan sebagai penyebab terjadinya perbedaan perilaku budaya kepada manusia di sekelilingnya. Pengaruh lingkungan dalam manusia meliputi kepribadian, moralitas, politik dan pemerintahan, agama, kebudayaan materi, dan biologi. Dalam pada itu, manusia dianggap tidak berperan dalam mempengaruhi lingkungan. Contoh dari Hipocrates atas keberpengaruhan ini yakni iklim panas yang mengakibatkan kekurangan air akan membuat manusia sekitarnya menjadi penuh gairah, keras, malas, usia relatif singkat, ringan, dan cerdas. Hal menarik dan agak berbeda, Plato dan Sokrates menghubungkan lingkungan dengan bentuk pemerintahan. Dicontohkan bahwa iklim lingkungan yang panas cenderung membuat pemerintahan suatu wilayah bersifat despotik (tunggal dan sewenang-wenang). Iklim sedang akan membuat suatu pemerintahan bersifat demokratik. Sementara iklim yang dingin, cenderung membentuk pemerintahan yang kurang jelas. Montesqieu pada abad ke-18, mengaitkan keberpengaruhan lingkungan terhadap sifat keagamaan. Beliau menyebutkan bahwa lingkungan dengan iklim panas, cenderung melahirkan agama yang bersifat pasif, sementara dengan iklim yang dingin cenderung dengan agama yang agresif.
Dari tiga contoh di atas, sebetulnya kembali lagi pada ketertarikan individu dalam memahami pandangan environmental determinism dengan konsep linear causality ini.
B. Pandangan environmental possibilism dengan konsep limiting role, permissive, atau selective
Dalam pandangan ini, manusia beradaptasi dengan sistem yang dimungkinkan oleh kondisi fisik lingkungan. Dalam hal ini, ada keterkaitan lingkungan budaya dengan lingkungan alam. Misalnya, budaya keramba ikan hanya dimungkinkan oleh lingkungan pantai dengan adanya peralatan dan bibit ikan yang memadai, bukan di pegunungan.
Kroeber (1939) mencontohkan dengan distribusi gandum hanya terdapat di daerah yang curah hujannya terjadi dalam empat bulan, dengan didukung oleh ketiadaan embun yang beku. Berbeda dari itu, Wedel menyebutkan budaya bercocok tanam hanya terjadi didaerah dengan curah hujan yang tinggi setiap tahun tanpa kemarau. Curah hujan yang tinggi tentu mendukung pengolahan tanah, pertumbuhan padi. Selanjutnya, budaya berburu dan/atau mengumpul makanan terdapat pada daerah yang curah hujannya rendah sepanjang tahun, dan kemarau yang tinggi. Curah hujan yang rendah memungkinkan manusia sekitarnya untuk bepergian mencari makanan, dan disebakan pula tidak mungkinya untuk bercocok tanam. Sementara berburu dimungkinkan oleh keberadaan padang rumput, kuda, dan senjata api.
C. Pandangan atas cultural ecology dengan resiprokal causaliti dan core culture
Greetz dalam Hardesty (1977: 15) mengajukan ancangan tentang cultural ecology. Perspektifnya dilandasi oleh konsep tentang sistem. Pandangannya tentang sistem itu difokuskan pada mutual causality yang kompleks. Greetz meyakini bahwa konsep ekosistem adalah simpulan dari ide tentang hubungan timbal balik dan saling menguntungkan antara kebudayaan, biologi, dan lingkungan.
Pandangan ini meyakini bahwa lingkungan dan manusia sekitarnya memberi pengaruh pada unsur budaya inti, sementara akibat lainnya, terjadi karena proses sejarah. Dalam penelitiannya di Great Basin tahun 1930-an, Steward menemukan adanya hubungan langsung antara kepadatan sumber daya alam dengan populasi pemburu-peramu. Ditemukan bahwa penduduk lebih jarang di daerah dengan pohon yang sedikit dibandingkan dengan daerah dengan pohon yang padat. Beliau memperkenalkan konsep kebudayaan inti (core culture).
Kondisi Terkini Komuniti orang Iwanggete dan Lio
Untuk mengetahui bagaimana pandangan yang telah dikemukakan di atas dalam komuniti Iwanggette dan Lio di Flores, maka berikut dipaparkan pemahaman atas tulisan Dewa tentang kondisi saat itu.
Orang Lio dan Iwanggete sangat memegang teguh adat bahkan sampai pada proses pengelolaan lahanpun mereka sangat memegang erat aturan-aturan adat yang berlaku. Peraturan adat berlaku ketat sehingga masyarakat lebih teratur dan dapat melaksanakan kewajiban dan menerima hak masing-masing. Aturan dalam pengelolaan lahan menurut saya sangat positif karena masyarakat tidak dapat berlaku semaunya karena setiap pelanggaran dikenai sanksi hukuman.
Seiring perkembangan zaman dan peningkatan jumlah penduduk, pranata-pranata yang dulu efektif untuk mendukung kehidupan masyarakat tidak lagi berfungsi. Masalah pangan yang dihadapi oleh masyarakat Flores harus segera dicarikan jalan keluarnya oleh pemerintah daerah. Memang usaha ke arah perbaikan sudah dilakukan seperti dengan memperkenalkan teknologi pertanian dan pengenalan tanaman perdagangan. Namun ternyata usaha itu justru menimbulkan masalah baru. Maka perlu dicari jalan keluar dengan menyesuaikan kebutuhan dan lingkungan alam di masing-masing daerah.
Di Iwanggete misalnya, pemerintah setempat harus membuat peraturan baru, atau menjadikan lahan-lahan itu sebagai hutan lindung yang digunakan untuk keperluan-keperluan khusus. Tanaman perdagangan yang dikembangkan harus disertai dengan langkah-langkah antisipatif agar perkembangan disatu sisi tidak menimbulkan kerugian disisi lain. Usaha ini tentu membutuhkan penyuluhan yang intensif bagi para peladang agar benar-benar paham akan manfaatnya.
Lain halnya di Lio, tanaman perdagangan belum berkembang karena belum jelasnya status kepemilikan tanah. Ini perlu diselesaikan terlebih dahulu. Dengan status kepemilikan yang lebih jelas mungkin pengembangan tanaman perdagangan akan dapat diterapkan di Lio (Pemahaman atas tulisan Remigius Dewa, 1993).


Daftar Acuan
Alland, A. 1972. Evolution and Human Behaviour. New York: Doubleday, 2nd. ed.
Dewa, Remigius. 1993. Perubahan Pranata Pengelolaan Lahan Pada Komunitas Peladang di Nusa Tenggara Timur: Kasus Lio dan Iwanggete di Pulau Flores. Ekonesia. A Journal of Indonesian Human Ecology. Vol. I. No. 1, 1993, hal. 37-57. Jakarta: Program Studi Antropologi. Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Hardesty, Donald. L. 1977. “Introduction.” Dalam Ecological Anthropology. Now York: John Wiley & Sons. 1-77.
Holloway, R.J Jr. 1969. Culture: a Human Domain. Current Anthopology. 10: 395-407.
Keesing, R.M. 1970. New Perspectives in Cultural Anthopology. New York: Holt, Rinehart & Winston.
Meggers, B.J. 1971. Amazonia: Man and Nature in a Counterfeit Paradise. Chicago: Aldine.

KEBUDAYAAN SEBAGAI SISTEM TANDA

JAWABAN SOAL UJIAN AKHIR SEMESTER
TEORI KEBUDAYAAN 2010

Soal no. 3

KEBUDAYAAN SEBAGAI SISTEM TANDA
(Soal dari Prof. Dr. Okke K.S. Zaimar)





oleh:

Juniato Sidauruk
0906655282








PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM LINGUISTIK
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
UNIVERSITAS INDONESIA
Desember 2010

3. Kebudayaan sebagai Sistem Tanda (Prof. Dr. Okke K. S. Zaimar)
Pertanyaan: Apakah yang dimaksud dengan mitos (Barthes)? Apa gunanya bagi studi teks sebagai kebudayaan?
Menurut saya agak sulit memperbincangkan konsep mitos Barthes tanpa mengaitkannya dengan tokoh semiotik Prancis Saussure. Roland Barthes, melalui sejumlah karyanya ia tidak hanya melanjutkan pemikiran Saussure tentang hubungan bahasa dan makna, pemikirannya justru melampaui Saussure terutama ketika ia menggambarkan tentang makna ideologis dari bahasa yang ia ketengahkan sebagai mitos.
« Bahasa adalah sistem tanda yang mengungkapkan gagasan, dengan demikian dapat dibandingkan dengan tulisan, abjad orang-orang bisu-tuli, upacara-upacara simbolik, bentuk sopan santun, tanda-tanda kemiliteran, dan lain-lain. Bahasa hanyalah yang paling penting dari sistem-sistem ini; … akan kami namakan semiologi (dari bahasa Yunani semeion yang berarti « tanda ») Semiotik adalah ilmu tanda. Dan apakah tanda ? Tanda adalah sesuatu yang mewakili seseorang atau sesuatu yang lain dalam hal-hal dan kapasitas tertentu (Noth, 1995: 42). …Linguistik hanyalah sebahagian dari ilmu umum itu, kaidah-kaidah yang digunakan dalam semiologi akan dapat digunakan dalam linguistik dan dengan demikian linguistik akan terikat pada suatu bidang tertentu dalam keseluruhan fakta manusia. » (Saussure, 1969, 1973).

Bahasa sebagai wujud gagasan itu dikomunikasikan, seperti pendapat Roland Barthes dalam bukunya Mythologies (1957) bahwa mitos adalah : suatu sistem komunikasi yang membawa pesan. Mitos bukanlah suatu konsep atau gagasan, melainkan suatu bentuk tuturan yang ditampilkan dalam suatu wacana. Mitos tidak ditentukan oleh materi (bahan yang disampaikan). Jadi, mitos dapat disampaikan secara verbal, maupun non verbal atau kombinasi antara keduanya (film, gambar, lukisan, bangunan, fotografi, patung, iklan, komik, bahkan juga peristiwa, dan lain-lain). Mitos tidak bersifat arbitrer, selalu ada sebahagian yang mengandung motivasi yang biasanya dikemukakan berkat analogi. Dalam mitos, bentuk bisa mengundang makna, bisa juga bentuk mendapat motivasi dari konsep yang akan ditampilkan. Penemuan teori ini sangat besar kegunaannya, karena memungkinkan teori bahasa digunakan sebagai « model » teks-teks lainnya.
Ketika mempertimbangkan sebuah berita atau laporan, akan menjadi jelas bahwa tanda linguistik, visual dan jenis tanda lain mengenai bagaimana berita itu direpresentasikan (seperti tata letak / lay out, rubrikasi, dsb.) tidaklah sesederhana mendenotasikan sesuatu hal, tetapi juga menciptakan tingkat konotasi yang dilampirkan pada tanda. Barthes menyebut fenomena ini – membawa tanda dan konotasinya untuk membagi pesan tertentu– sebagai penciptaan mitos. Pengertian mitos di sini tidaklah menunjuk pada mitologi dalam pengertian sehari-hari –seperti halnya cerita-cerita tradisional– melainkan sebuah cara pemaknaan; dalam bahasa Barthes: tipe wicara. Pada dasarnya semua hal dapat menjadi mitos; satu mitos timbul untuk sementara waktu dan tenggelam untuk waktu yang lain karena digantikan oleh pelbagai mitos lain. Mitos menjadi pegangan atas tanda-tanda yang hadir dan menciptakan fungsinya sebagai penanda pada tingkatan yang lain.
Mitos oleh karenanya bukanlah tanda yang tak berdosa, netral; melainkan menjadi penanda untuk memainkan pesan-pesan tertentu yang boleh jadi berbeda sama sekali dengan makna asalnya. Kendati demikian, kandungan makna mitologis tidaklah dinilai sebagai sesuatu yang salah (‘mitos’ diperlawankan dengan ‘kebenaran’); cukuplah dikatakan bahwa praktik penandaan seringkali memproduksi mitos. Produksi mitos dalam teks membantu pembaca untuk menggambarkan situasi sosial budaya, mungkin juga politik yang ada disekelilingnya. Bagaimanapun mitos juga mempunyai dimensi tambahan yang disebut naturalisasi. Melaluinya sistem makna menjadi masuk akal dan diterima apa adanya pada suatu masa, dan mungkin tidak untuk masa yang lain.
Pemikiran Barthes tentang mitos nampaknya masih melanjutkan apa yang diandaikan Saussure tentang hubungan bahasa dan makna atau antara penanda dan petanda. Seperti ditulis oleh Bertens (1985: 382), pembedaan tanda atas signifiant dan signifiÄ› merupakan pokok terpenting dari pandangan Saussure. Ia berusaha melihat tanda sebagai sebuah kesatuan antara sesuatu yang bersifat material (signifiant/signifier /penanda) (Piliang, 2003: 47), yaitu image acoustique atau citra bunyi (Saussure, 1973: 146), dengan sesuatu yang abstrak (signifiÄ›/signified/petanda) (Piliang, 2003: 47), yang disebutnya sebagai konsep (Saussure, 1973: 146). Citra bunyi tersebut juga tidak semata-mata fisik, tetapi psikis (psychÄ›: sesuatu yang juga abstrak); penggunaan istilah materil hanya untuk membedakannya dari konsep (yang lebih abstrak) (Saussure 1973: 146).
Bagi Barthes, mitos bermain pada wilayah pertandaan tingkat kedua atau pada tingkat konotasi bahasa. Jika Sauusure mengatakan bahwa makna adalah apa yang didenotasikan oleh tanda, Barthes menambah pengertian ini menjadi makna pada tingkat konotasi. Konotasi bagi Barthes justru mendenotasikan sesuatu hal yang ia nyatakan sebagai mitos, dan mitos ini mempunyai konotasi terhadap ideologi tertentu.
Tanda-tanda ini justru membedakan kelompok manusia yang satu dengan yang lainnya. Itulah yang disebut kebudayaan. Demikianlah, « budaya merupakan ketrampilan suatu kelompok untuk mengenali, menginterpretasikan dan memproduksi tanda dengan cara yang sama. Pada akhirnya, budaya dapat diartikan sebagai suatu keseluruhan kebiasaan semiotis yang saling terkait. » (Van Zoest, 1933 : h.49).
Tanda konotatif tidak hanya memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya.
Tanda-tanda itu antara lain terdapat juga pada mitos yakni keseluruhan sistem citra dan kepercayaan yang dibentuk masyarakat untuk mempertahankan dan menonjolkan identitasnya (Kridalaksana, 1988: 27).

Tambahan tentang konotasi ini merupakan sumbangan Barthes yang amat berharga atas penyempurnaannya terhadap semiologi Sausure, yang hanya berhenti pada penandaan pada lapis pertama atau pada tataran denotatif semata. Dengan membuka wilayah pemaknaan konotatif ini, ‘pembaca’ teks dapat memahami penggunaan gaya bahasa kiasan dan metafora yang itu tidak mungkin dapat dilakukan pada level denotatif. Lebih dari itu, di samping gagasannya dapat dimanfaatkan untuk menganalisis media, semiotika konotasi ala Barthesian ini memungkinkan penggunaannya untuk bidang lain seperti pembacaan terhadap karya sastra dan fenomena budaya kontemporer atau budaya pop. Bagi Barthes, semiologi bertujuan untuk memahami sistem tanda, apapun substansi dan limitnya, sehingga seluruh fenomena sosial yang ada dapat ditafsirkan sebagai ‘tanda’ alias layak dianggap sebagai sebuah lingkaran linguistik.
Dalam mitos, bentuk bisa mengundang makna, bisa juga bentuk mendapat motivasi dari konsep yang akan ditampilkan (Zaimar, 2008: 9). Menurut Kridalaksana (1988: 27), bagi Barthes, mitos merupakan sistem semiotis lapisan kedua, yang dibentuk berdasarkan rangkaian semiotis yang telah ada sebelumnya.

Dalam konteks studi teks sebagai kebudayaan yaitu teks sebagai jalinan unsur-unsur budaya, baik berupa hasil budaya yang konkrit maupun yang abstrak. Hoed (2004: 52-54) kemudian, menjelaskan bahwa Barthes melihat semua gejala dalam kebudayaan sebagai tanda yang terdiri atas signifiant dan signifie. Pemahan akan signifant dan signifie sebagai proses dua tahap. Karena signifiant adalah gejala yang ditangkap oleh kognisi manusia juga diproduksi, maka ditinjau dari segi pemroduksi tanda, signifiant disebut expression (E) ’ekspresi atau pengungkapan’, dan signifie sebagai content (C) ’isi atau konsep’. Relasi (R) antara E dan C pada manusia terjadi dalam lebih dari satu tahap. Tahap primer terjadi saat tanda diterima untuk pertama kalinya, R1, E1, C1. Pemaknaan tanda tidak hanya terjadi pada tahap primer, tetapi dilanjutkan pada tahap sekunder, yakni R2, E2, dan C2.
Selain konotasi, Barthes juga mengungkapkan metabahasa sebagai pengembangan selanjutnya dari makna pada lapisan pertama. Contohnya ekspresi atau pengungkapan dukun, juga dapat diekspresikan dengan paranormal, atau orang pintar. Dalam linguistik gejala ini disebut sinonimi (Hoed, 2004: 53).

Bagi Geertz, makna tidak terletak di "dalam kepala orang". Simbol dan makna dimiliki bersama oleh anggota masyarakat, terletak di antara mereka, bukan di dalam diri mereka. Simbol dan makna bersifat umum (public), bukan pribadi (private). Geertz mengangggap pandangannya tentang budaya adalah semiotik . Mempelajari budaya berarti mempelajari aturan -aturan makna yang dimiliki bersama. Dengan meminjam satu arti "text" yang lebih luas dari Ritzer, Geertz pada masa akhir -akhir ini menganggap satu kebudayaan sebagai "satu kumpulan teks" (Keesing, 1971: 13 ).

Jalan lain dalam membahas kebudayaan adalah dengan cara memandang kebudayaan -kebudayaan sebagai sistem makna dan simbol yang dimiliki bersama (Keesing, 1971: 10). Di daratan Eropa jalan ini telah dirambah oleh Louis Dumont. Di AS pelopor yang paling menonjol adalah dua ahli antropologi pewaris tradisi Parsons: Clifford Geertz dan David Schneider. Pandangan yang kuat dari Geertz terhadap budaya, yang ditunjang satu aliran kemanusiaan yang luas, makin lama makin menjadi sistematis. (Keesing, 1971: 11).

Seperti ditulis oleh Bertens (1985: 382), pembedaan tanda atas signifiant dan signifiÄ› merupakan pokok terpenting dari pandangan Saussure. Ia berusaha melihat tanda sebagai sebuah kesatuan antara sesuatu yang bersifat material (signifiant/signifier/ penanda) (Piliang, 2003: 47), yaitu image acoustique atau citra bunyi (Saussure, 1973: 146), dengan sesuatu yang abstrak (signifiÄ›/signified/petanda) (Piliang, 2003: 47), yang disebutnya sebagai konsep (Saussure, 1973: 146). Citra bunyi tersebut juga tidak semata-mata fisik, tetapi psikis (psychÄ›: sesuatu yang juga abstrak); penggunaan istilah materil hanya untuk membedakannya dari konsep (yang lebih abstrak) (Saussure 1973: 146).
Untuk melihat manfaat studi teks sebagai kebudayaan, saya mengutip pendapat Keesing (1971, 13) bahwa
". . . Masalah analisis budaya adalah masalah menentukan saling ketergantungan sekaligus saling keterkaitan, masalah menentukan jurang sekaligus jembatan. Citra yang tepat, kalau seseorang harus punya citra, mengenai organisasi kultural, adalah bukan merupakan jaringan laba-laba maupun onggokan pasir. Organisasi kultural lebih menyerupai gurita yang tangan-tangannya sebagian besar terintegrasi secara terpisah, syaraf-syarafnya kurang begitu baik berhubungan satu dengan lain dan dengan pusat kontrol di otaknya. Namun demikian gurita tersebut mampu berputar dan melindungi dirinya, meskipun untuk sekejap, sebagai satu gairah hidup . . ."


Daftar Acuan

Barthes, Roland. 1957. Mythologies. Paris: Seuil
Bertens, K. 1985. Filsafat Barat Abad XX (Jilid II): Prancis. Jakarta: Gramedia.
Hoed, Benny. H. 2002. Strukturalisme, Pragmatik, dan Semiotik dalam Kajian Budaya: Sebuah Pengantar Ringkas dalam Tommy Christommy (ed). 2002. Indonesia: Tanda Yang Retak. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Hoed, Benny. H. 2004. “Bahasa dan Sastra dalam Tinjauan Semiotik dan Hermeneutik”. Dalam T. Christomy dan Untung Yuwono (ed). Semiotika Budaya. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Universitas Indonesia.
Keesing, R.M, Keesing, F.M. 1971. New Perspectives in Cultural Antrophology. New York: Holt, Rinehart & Winston.
Kridalaksana, Harimurti. 1988. “Mongin-Ferdinand De Saussure, Bapak Linguistik Modern dan Pelopor Strukturalisme”. Dalam Pengantar Linguistik Umum. Terjemahan Course de Linguistique Generale (1969) Oleh Rahayu S. Hidayat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Noth, W. 1995. Handbook of Semiotics. Indianapolis: Indiana University Press.
Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Bandung: Jalasutra.
Ritzer, George. 2003. Teori Sosial Postmodern. Terjemahan The Postmodern Social Theory oleh Muhammad Taufiq. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Saussure, Ferdinand de. 1973/1988. Pengantar Linguistik Umum. Terjemahan Cours de Linguistique Generale (1969) oleh Rahayu S. Hidayat. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Van Zoes, Aart. 1993. Semiotika (diterjemahkan oleh: Ani Soekowati). Jakarta: Yayasan Sumber Agung.
Zaimar, Okke K. S. Zaimar. 2008. Teori Kebudayaan: Teks Sebagai Kebudayaan Dengan Landasan Semiotik. Bahan Kuliah Program Kajian Wilayah Eropa : Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Zaimar, Okke K. S. Zaimar. 2008. Semiotik dan Penerapannya dalam Karya Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

KEBUDAYAAN SEBAGAI SISTEM STRUKTURAL

JAWABAN SOAL UJIAN AKHIR SEMESTER
TEORI KEBUDAYAAN 2010

Soal no. 1

KEBUDAYAAN SEBAGAI SISTEM STRUKTURAL
(Soal dari Prof. Dr. Benny Hoedoro Hoed)






oleh:

Juniato Sidauruk
0906655282



PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM LINGUISTIK
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
UNIVERSITAS INDONESIA
Desember 2010

1. Kebudayaan sebagai Sistem Struktural (Prof. Dr. Benny H. Hoed)
Pertanyaan: Apa yang dimaksud dengan “struktur”? Kemudian, bagaimana konsep struktur berkembang di kalangan pascastrukturalis? Bagaimana kita memperlihatkan bahwa struktur itu bertransformasi? Jelaskan dengan contoh. (Pilih dua tokoh dari tiga: Barthes, Derrida, atau Kristeva).

Untuk memahami pendekatan strukturalis, perlu terlebih dahulu memahami apa yang disebut dengan struktur (Kridalaksana, 1988: 24). Struktur adalah suatu tatanan wujud-wujud berupa bangun teoritis yang terdiri atas unsur-unsur yang saling berhubungan satu sama lain dalam satu kesatuan (Piaget, 1960). Struktur itu memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
1. Sifat yang mencakup keutuhan (totalitas) dimana struktur merupakan tatanan wujud yang berbentuk kumpulan tiap-tiap komponen struktur yang tunduk pada kaidah intrinsik dan tidak mempunyai keberadaan bebas diluar struktur.
2. Sifat yang mencakup transformatif. Artinya struktur merupakan sifat yang tidak statis. Bahan-bahan baru dapat terus diproses oleh dan melalui struktur itu.
3. Sifat yang mencakup pengaturan diri (otoregulatif) dimana struktur itu tidak pernah meminta bantuan dari luar untuk melaksanakan prosedur transformasional tersebut, jadi struktur itu bersifat tertutup (Kridalaksana, 1988: 24).

Keesing (1971: 6) melihat budaya sebagai sistem struktural. Beliau memberi penjelasan terperinci bahwa di daratan Eropa, Levi-Strauss terus memperdalam pandangannya tentang dunia simbolik manusia dan proses pikiran yang menghasilkan dunia simbolik ini. Pada dasawarsa terakhir, pendekatan strukturalis ini telah memberi dampak yang kuat terhadap banyak sarjana yang belajar dalam tradisi Anglo-Amerika. Selain itu, Levi-Strauss juga memandang budaya sebagai sistem simbolik yang dimiliki bersama, dan merupakan creation of mind secara kumulatif. Dia berusaha menemukan penstrukturan bidang kultural (dalam mitologi, kesenian, kekerabatan, dan bahasa) prinsip-prinsip dari pikiran (mind) yang menghasilkan budaya itu.
Khususnya dalam buku Mythologies (Barthes, 1957), Levi-Strauss lebih memperhatikan "Budaya" daripada "sebuah budaya"." Dia melihat struktur mitologi Indian Amerika sebagai sesuatu yang tumpang-tindih. Struktur ini saling menghubungkan pola-pola organisasi kognitif individu-individu Orang Baroro, atau Orang Winnebago atau Orang Mandan. Bahkan lebih jauh struktur ini melintasi garis sempadan bahasa dan adat yang memisahkan masyarakat yang berbeda tersebut. Karena itulah struktur pemikiran tersebut lebih dipandang sebagai "Budaya", yaitu bersifat universal, daripada "sebuah budaya" yang bersifat lokal.
Sebetulnya istilah strukturalisme, seperti diungkap Bertens (1985: 386), mengemuka pertama kali pada kongres pertama tentang linguistik yang diadakan di Den Haag pada tahun 1928. Sebagai sebuah mode pemikiran yang mempengaruhi beragam bidang kajian lainnya, strukturalisme memiliki akar dan pertahanannya yang sangat kuat pada pembaruan di bidang linguistik yang diprakarsai oleh Saussure (Bertens, 1985: 381 dan Ritzer, 2003: 52).
Pada hakekatnya strukturalisme adalah suatu cara pandang yang menekankan persepsi dan deskripsi tentang struktur yang ditemukan dalam sistem bahasa; terjadi dari tingkat-tingkat struktur dimana terdapat unsur-unsur yang saling berkontras dan berkombinasi untuk membentuk satuan-satuan yang lebih tinggi. Inilah yang menjadi dasar pendekatan strukturalis. Dalam Course de Linguistique Generale (1916), Saussure mengemukakan empat konsep dikotomis, yaitu: langue vs. parole; sintagmatik vs. paradigmatik; sinkronik vs. diakronik; dan signifiant vs. signifiÄ›.
Pembedaan bahasa (langage) atas langue dan parole oleh Saussure mempengaruhi tidak hanya strukturalisme tetapi pascastrukturalisme dan pasca-modernisme (Ritzer 2003: 52). Langue adalah sistem dan struktur bahasa yang bersifat abstrak dan dijadikan acuan dalam komunikasi (Hoed (dalam Christommy 2002: 6)). Dalam pengantar terjemahan Indonesia Course de Linguistique Generale, Kridalaksana (1988: 7) menjelaskan bahwa langue merupakan keseluruhan kebiasaan yang diperoleh secara pasif, yang memungkinkan para penutur dapat saling memahami. Adapun parole, seperti diungkap Hoed (dalam Christommy 2002: 6), adalah realisasi langue dalam komunikasi. Pembedaan langue vs. parole ini secara lebih sederhana digambarkan oleh Bertens (1985: 383), bahwa langue merupakan "bahasa sejauh merupakan milik bersama" dan parole merupakan "pemakaian bahasa yang individual." Kalau dikaitkan dengan Noam Chomsky, langue sebagai competence sedangkan parole itu performance (lihat Chomsky, 2005: 4, 23).
Saussure mengenalkan istilah sintagmatik dan paradigmatik untuk menjelaskan sifat relasi antar komponen dalam bahasa. Relasi sintagmatik, seperti diungkap Hoed (dalam Christommy 2002: 6), merupakan relasi antarkomponen dalam struktur. Adapun relasi paradigmatik adalah relasi antara suatu komponen dalam struktur tertentu dengan entitas lain di luar struktur tersebut. Saussure menekankan pentingnya gagasan ini dalam bidang ilmu di luar linguistik. Contoh tiang bangunan. Tiang-tiang pada sebuah bangunan / gedung / rumah panggung (di Minahasa), satu sama lain berhubungan dan saling menopang sehingga kuat atau tidak goyang. Jika seperti ini, berarti peran sintagmatis yang terjadi. Tiang-tiang tersebut beragam, baik dari bahan, gaya dan lainnya. Misalnya sebagai contoh paradigmatik, tiang dengan bahan dasar beton dapat digantikan dengan tiang kayu besi (jenis kayu tropis yang terkenal kekuatannya banyak ditemui di Papua), dalam hal gaya, dapat saja tiang-tiang tersebut bergaya Doria, Ionia, atau Korintia (secara asosiatif).
Dalam hal penelitian bahasa, Saussure, seperti diungkap oleh Hoed (dalam Christommy 2002: 7), beranggapan bahwa penelitian sinkronik merupakan dasar bagi penelitian diakronik, yaitu penelitian terhadap bahasa yang melihat perkembangannya dari waktu ke waktu. Penelitian sinkronik terhadap bahasa merupakan penelitian bahasa yang terbatas pada satu lapisan waktu tertentu. Dengan ini, bahasa dapat dilihat sebagai sebuah sistem yang tetap (Piliang, 2003: 48), dan dapat dibebaskan dari unsur ekstra lingual, termasuk waktu (Bertens, 1985: 385).
Seperti ditulis oleh Bertens (1985: 382), pembedaan tanda atas signifiant dan signifiÄ› merupakan pokok terpenting dari pandangan Saussure. Ia berusaha melihat tanda sebagai sebuah kesatuan antara sesuatu yang bersifat material (signifiant/signifier/penanda) (Piliang, 2003: 47), yaitu image acoustique atau citra bunyi (Saussure, 1973: 146), dengan sesuatu yang abstrak (signifiÄ›/signified/petanda) (Piliang, 2003: 47), yang disebutnya sebagai konsep (Saussure, 1973: 146). Citra bunyi tersebut juga tidak semata-mata fisik, tetapi psikis (psychÄ›: sesuatu yang juga abstrak); penggunaan istilah materil hanya untuk membedakannya dari konsep (yang lebih abstrak) (Saussure 1973: 146).

Salah sorang sarjana yang secara konservatif menerapkan teori-teori saussure ialah Roland Barthes (1915-1980). Ia menerapkan model Saussure dalam penelitiannya tentang karya-karya sastra dan gejala-gejala kebudayaan. Bagi Barthes, komponen-komponen tanda, yakni penanda dan petanda, terdapat juga pada tanda-tanda bukan bahasa. Tanda-tanda itu antara lain terdapat juga pada mitos yakni keseluruhan sistem citra dan kepercayaan yang dibentuk masyarakat untuk mempertahankan dan menonjolkan identitasnya.
Hoed (2004: 52-54) menjelaskan bahwa Barthes melihat semua gejala dalam kebudayaan sebagai tanda yang terdiri atas signifiant dan signifie. Ia mencoba untuk menerapkan teori Saussure dalam kebudayaannya sendiri yaitu Perancis.
… Pemahaman akan signifant dan signifie sebagai proses dua tahap. Karena signifiant adalah gejala yang ditangkap oleh kognisi manusia juga diproduksi, maka ditinjau dari segi pemroduksi tanda, signifiant disebut expression (E) ’ekspresi atau pengungkapan’, dan signifie sebagai content (C) ’isi atau konsep’.
 Relasi (R) antara E dan C pada manusia terjadi dalam lebih dari satu tahap. Tahap primer terjadi saat tanda diterima untuk pertama kalinya, R1, E1, C1. pemaknaan tanda tidak hanya terjadi pada tahap primer, tetapi dilanjutkan pada tahap sekunder, yakni R2, E2, dan C2. Proses pengembangan dari sistem primer terdiri atas dua jalur yaitu Pengembangan pada segi E. Hasilnya adalah suatu tanda mempunyai lebih dari satu E untuk C yang sama. Ini disebut proses metabahasa.
 Pengembangan dari segi C. Hasilnya adalah suatu tanda mempunyai lebih dari satu C untuk E yang sama. Pengembangan makna C ini disebut Barthes sebagai konotasi. Contoh: merah muda (E) yang maknanya (C) dalam sistem primer adalah ‘sejenis warna hasil pencampuran antara merah dan putih’. Dalam proses selanjutnya makna primer itu menjadi berkonotasi ‘cinta’, ‘rindu’ dan ‘sayang’.

Konsep bersifat pembeda semata-mata dan secara langsung bergantung pada citra bunyi yang berkaitan. Kaitan keduanya dapat diibaratkan dengan selembar kertas karena tidak mungkin menggunting satu sisi tanpa menggunting sisi yang lain. Dalam tanda bahasa, bila citra akustis berubah, maka berubah pula konsep, dan sebaliknya (Kridalaksana, 1988: 12-13).
Strukturalisme pada awalnya melihat struktur kebudayaan sebagai sesuatu yang statis. Dalam perkembangannya strukturalisme melihat kebudayaan sebagai suatu yang dinamis. Hal ini terjadi karena diubah oleh agensi kebudayaan yang terdapat dalam struktur tersebut. Budaya tumbuh dalam suatu kelompok masyarakat. Ia berperan dalam mengendalikan, mengatur pola-pola berperilaku yang dianggap lazim dalam masyarakat penganut kebudayaan tersebut. Contoh agensi (aktor) seperti di Papua ada Kepala Suku, ada pembantu pimpinan, dan tentu masyarakat dalam kelompok tersebut sebagai anggota.
Pada dasarnya, struktur dalam sistem yang tumbuh itu terletak pada tataran yang sifatnya abstrak yang dilandasi oleh ide-ide dan historis dalam masyarakat. Hal ini tampak dalam kebudayaan materialistik (konkrit) atau manifestasi eksternal, “surface manifestation” yang bentuknya beragam, misalnya dalam bentuk hukum, peraturan, institusi yang bertujuan demi kemaslahatan dan keharmonisan kehidupan bermasyarakat. Contoh terkini adalah gonjang-ganjing tentang keistimewaan provinsi Yogyakarta, antara sistem yang dianut pemerintahan dan kesultanan Yogya yang berbasis pada kebudayaan dan historis daerah tersebut.

Daftar Acuan

Barthes, Roland. 1957. Mythologies. Paris: Seuil.
Bertens, K. 1985. Filsafat Barat Abad XX (Jilid II): Prancis. Jakarta: Gramedia.
Chomsky, Noam. 2005. Language and Mind. 3rd Ed. Cambridge University Press.
Hoed, Benny. H. 2002. Strukturalisme, Pragmatik, dan Semiotik dalam Kajian Budaya: Sebuah Pengantar Ringkas dalam Tommy Christommy (ed). 2002. Indonesia: Tanda Yang Retak. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Hoed, Benny. H. 2004. “Bahasa dan Sastra dalam Tinjauan Semiotik dan Hermeneutik”. Dalam T. Christomy dan Untung Yuwono (ed). Semiotika Budaya. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Universitas Indonesia.
Keesing, R.M, Keesing, F.M. 1971. New Perspectives in Cultural Antrophology. New York: Holt, Rinehart & Winston.
Kridalaksana, Harimurti. 1988. Mongin Ferdinand Saussure (1857: 1913): Bapak Linguistik Modern dan Pelopor Strukturalisme. Dalam Ferdinand Saussure. 1973/1988 Pengantar Linguistik Umum.Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Bandung: Jalasutra.
Ritzer, George. 2003. Teori Sosial Postmodern. Terjemahan The Postmodern Social Theory oleh Muhammad Taufiq. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Saussure, Ferdinand de. 1973/1988. Pengantar Linguistik Umum. Terjemahan Cours de Linguistique Generale oleh Rahayu S. Hidayat. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Kebudayaan Sebagai Sistem Normatif

Senin, 13 Desember 2010

Windows Genuine

Windows Genuine merupakan aplikasi yang berfungsi melakukan validasi
terhadap sistem operasi windows komputer anda apakah asli atau tidak, jika
tidak maka akan muncul pesan bahwa anda adalah korban dari pembajakan sistem
operasi windows "You are a victim of Windows Counterfeiting",
lalu ketika restart, pesan itu akan muncul kembali dan anda harus menunggu
sekitar beberapa detik untuk masuk ke windows. Bete khan... kebanyakan kalo yang
ga tau, pasti di install ulang..

Gimana donk solusinya?


Solusinya pake Windows asli donk...!!He...bcanda ko.. Ikuti caranya
berikut:

Cara menghilangkan pesan Windows Genuine Victim:

- Buka Task Manager dengan menekan tombol Ctrl + Alt + Del

- Pada tab Process, cari Wgatray.exe, lalu klik end process, ini agar
aplikasi windows genuine dimatikan.

- Restart komputer kamu dan masuk safe mode dengan cara menekan F8 pada
saat booting.

- Pastikan masuk safe mode,

- Klik Start->Run dan ketikkan regedit, hal ini supaya masuk
ke registry editor.

- Cari ke lokasi HKEY_LOCAL_MACHINE \\ SOFTWARE \\ Microsoft \\ windowsNT \\
CurrentVersion \\ Winlogon \\ Notify

- Hapus folder WGALOGON beserta seluruh isinya.

- Beres dech, pesan sudah hilang setelah di restart.

Supaya pesan tidak muncul lagi, sebaiknya hapus program WGA (Windows Genuine
Advantage
) nya.

Cara menghapus WGA (Windows Genuine Advantage)

- Buka Task Manager dan matikan process wgatray.exe (jika sudah melakukan cara
pertama di atas, maka cara ini bisa dilewat).

- Restart windows dan masuk safe mode

- Hapus aplikasi Wgatray.exe dari folder "C:\Windows\System32"

- Hapus juga Wgatray.exe dari folder "C:\Windows\System32\dllcache"
(jika ada)

- Buka kembali Registry Editor, klik start -> Run lalu ketik regedit.

- Cari ke lokasi HKEY_LOCAL_MACHINE \\ SOFTWARE \\ Microsoft \\ Windows NT \\
CurrentVersion \\ Winlogon \\ Notify

- Delete folder WGALOGON beserta isi - isinya.

- Restart kembali komputer kamu, beres dech..

Untuk mencegahnya terinstall kembali WGA di komputer kamu, maka harus mematikan
automatic updates secara total dengan cara

- klik start->Run ketik msconfig

- Pada Tab General, Pilih Selective Start Up

- Lalu Pada Tab Services, cari Automatic Updates dan hilangkan tanda checknya

- Klik OK dan Restart komputer kamu


Yg pasti..pake yg aseli itu lebih enak....kkkk ga bikin enag....

Sudah pernah dapat yg asli????

Byk kok..bisa didownload n cari dech nomor serinya...