MAKNA DALAM SEMANTIK DAN SEMIOTIK, Juniato Sidauruk, NPM 0906655282, S2 Ilmu Linguistik, Univ. Indonesia
Pemaparan atas makna dalam Semantik dan Semiotik baiknya diurai secara berurut mulai dari definisi Semantik, Semiotik, dan makna; tentu saja harus diperikan pula bagaimana makna dalam ranah Semantik dan Semiotik serta komponen yang membangun unsur-unsur makna dimaksud. Pemerian ini akan terlebih dahulu mengacu pada teori terkait lalu akan dihadirkan ilustrasi atau pemahaman dalam hal aplikasi praktis.
Semantik adalah bidang linguistik yang mempelajari makna tanda bahasa, yaitu kaitan antara konsep dan tanda bahasa yang melambangkannya (Darmojuwono, 2005:114). Karena mempelajari makna, mutlak dituntut pemahaman atas pemerolehan bahasa (maksudnya bagaimana pengguna bahasa memperoleh suatu pemaknaan baik sebagai penutur, penulis, pendengar maupun pembaca) dan atas perubahan bahasa (bagaimana makna itu mengalami perubahan/pergeseran makna seiring waktu).
Saeed (1998:3) mengemukakan bahwa semantics is the study of meaning communicated through language. Juga diamini oleh Lyons (1977: 1) bahwa secara umum Semantik adalah ilmu yang mempelajari makna. Zaimar (2009: 156-158) mengutarakan ada makna denotatif dan makna konotatif. Makna denotatif ini merupakan makna yang masuk dalam mekanisme referensial, yang memberikan informasi yang disalurkan oleh satuan kebahasaan (penanda / signifiant) yang dapat mempunyai hubungan dengan obyek di luar bahasa. Dengan kata lain, tanda itu mengacu, menunjuk pada suatu realita non linguistic (bukan kebahasaan). Makna konotatif adalah nilai Semantik yang muncul tanpa disalurkan oleh suatu penanda yang termasuk dalam dua kategori yang biasanya berfungsi menyalurkan makna, yaitu penanda leksikal dan struktur gramatikal.
Dari perbedaan diatas sampailah pada pemahaman bahwa apabila denotasi mengacu pada realita tertentu di luar bahasa, maka konotasi menampilkan kesan penerima pesan. Agar lebih jelas harus diingat bahwa konotasi disini tidak hanya mengemukakan ciri individual, melainkan juga berkaitan dengan ciri sosial, budaya, sejarah, dan lain-lain. Walau begitu, makna konotasi dibatasi oleh makna yang ada di bagian makna teks lain.
Jadi perlu ada konsepsi bahasa dalam konteks sosial karena nampaknya ini dapat mempengaruhi makna dan juga memahami pengaruh gaya bahasa. Kajian Semantik mencakup kajian tentang bagaimana makna itu dibangun, diinterpretasikan, dijelaskan, diuraikan, dinegosiasikan, dikontradiksikan serta diparafrasekan.
Cruse (2000: 6) menyatakan bahwa dalam komunikasi terdapat tiga aspek makna, yaitu speaker’s meaning; hearer’s meaning; dan sign meaning. Untuk itu perlu diketahui tentang beberapa konsepsi makna. Berbicara tentang konsepsi makna harus dimulai dari Plato (427-347 BC) Cratylus dengan konsep “words → things”. Words “nama” atau “mengacu” pada “things”. Konsepsi lain diutarakan oleh C.K. Ogden and I.A. Richards (1923) sebagai Words → concepts → things. Tersirat akan ketiadaan hubungan langsung antara simbol dan referen, tetapi ada koneksi tidak langsung dalam pikiran kita.
Dalam Semantik, yang menjadi kajian bukanlah makna individual, tetapi makna yang diterima secara umum (Renkema, 2004: 35-37). Makna tanda bahasa yaitu kaitan antara konsep dan tanda bahasa yang melambangkannya.
Pendapat ini diawali dengan ide dari Saussure kalau ilmu yang mempelajari makna (Semantik) adalah bagian dari ilmu yang mempelajari tanda, yang disebut Semiotik (Saeed, 1998: 5) (atau tepatnya Semiologi berasal dari bahasa Yunani Semeion). Saussure (1988) juga menyatakan kalau tanda tidak memiliki acuan ke realitas objektif. Dan inilah menjadi ciri strukturalis dengan pemahaman abstraksinya.
Charles Morris dalam Renkema (2004: 36) berpendapat bahwa Semantics is the relations of signs to the objects to which the signs are applicable. Sedangkan tentang Semiotik dibedakan atas tiga bidang Semiotik yaitu Sintaksis mengenai hubungan antara tanda dengan sistem tanda di dalamnya; Semantik, hubungan antara tanda dan obyek yang diacu; dan Pragmatik, yaitu hubungan tanda dan orang yang menggunakan tanda tersebut.
Lebih tepat kiranya jika dalam memahami tanda (kajian dari Semiotik) dengan mengetengahkan ide Karl Buhler dengan “Tanda bahasa – Konsep – Acuan”; Peirce (1923) dengan Trikotomi-nya “Representamen – Obyek – Interpretant”; Gumperz (1982: 24) dengan Interpretive Frame (Shared-context – Supra-structure – the Universe of discourse). Model Organon Bühler melihat tanda dan pemaknaan tanda tersebut dengan melibatkan pembicara (A) dan pendengar (B) seperti gambar berikut.
Semiotika menghubungkan makna terhadap tanda; makna sebagai ide utama dalam mendefinisikan dan menganalisis tanda. Semua hal terkait makna dapat dianalisis secara Semiotik, kalau pun beberapa pakar berbicara tentang makna non-Semiotik (Nöth, 1990).
Semiotika mencakup analisis tanda dan studi tentang sistem tanda (Nöth, 1990). Yang dimaksudkan dengan “tanda“ adalah sesuatu yang ada untuk sesuatu yang lain (Peirce, 1931), sehingga Semiotik dapat juga dipahami sebagai studi bagaimana pemaknaan “meaning-making” itu atau semiosis.
Menurut Sebeok (1994) definisi symptom “gejala” dalam ranah linguistik, Semeion, telah memiliki definisi implisit dari “tanda” yang mengacu pada sesuatu yang lain dari tanda itu sendiri. Dalam peristilahan lebih umum, suatu budaya merupakan sistem kehidupan sehari-hari yang diikat oleh petanda termasuk tanda, kode, teks, dan bentuk-bentuk konektif (penghubung). Semiotik bukan hanya sebuah teori tetapi sebagai praktek umum dan tak bisa dihindari dan merupakan kajian antropologi budaya. Semiotik itu bisa diaplikasi menurut faham positivis dan strukturalis ketika fokusnya pada kajian formal, eksplisit, statis, dan struktur nyata dari bahasa dan sistem tanda lainnya. Sebaliknya, Semiotik mungkin pula pendekatan berorientasi sosial dan interpretatif ketika berfokus pada hakikat dinamis dan transformatif atas sistem tanda yang sama mengikuti faham post-strukturalis dan epistemik post-modernis.
Semiotik, sebagai sebuah disiplin ilmu, menganalisis tanda-tanda dan mempelajari sistem tanda tersebut. Mengacu pada konsep segitiga Ogden dan Richards (1952: 11) menampilkan hubungan antara tiga elemen makna, yakni dengan menghubungkan symbol, referent dan thought atau reference dalam bentuk diagram segitiga makna. Reference (konsep/makna) sebuah kata dibedakan ke dalam dua jenis makna, yakni makna referensial dan makna emotif. Sebuah kata, frasa, serta kalimat pada dasarnya berpotensi menampilkan makna referensial maupun kontekstual (Rahyono, 2005: 46-56).
Cruse (1991:1) dalam pembahasan tentang pendekatan kontekstual Semantik leksikal menyatakan bahwa: “…the semantic properties of a lexical item fully reflected in appropriate aspects of the relations it contrast with actual and potential contexts. In theory, the relevant contexts could include extra-linguistics situational contexts.” Renkema (2004) menyebutnya sebagai unsur inter-tekstualitas atau oleh Rahyono (2005) menyebutnya konsep lingual dan konsep non-lingual.
Jika makna referensial dan kontekstual kata yang hadir dalam konteks yang bersangkutan itu sama, maka makna kata (“tanda”) itu bersifat Semantik, sebaliknya jika maknanya berbeda, maka makna “tanda” itu bersifat pragmatis.
Lyons (1977: 50-6) menguraikan tiga jenis makna: deskriptif, sosial, dan ekspresif. Makna deskriptif berhubungan dengan makna gramatikal; makna sosial dan ekspresif merupakan dua sub-tipe dari makna pragmatik. Makna sosial berupaya untuk menciptakan dan mempertahankan hubungan sosial. (Lyons, 1977: 51) berpendapat bahwa makna ekspresif sifatnya lebih individual dan mengacu pada makna tertentu yang digunakan oleh pengguna bahasa saat berujar. Makna deskriptif seperti ditegaskan Lyons “telah menjadi fokus perhatian dalam Semantik filosofis”.
Pakar Semiotik menginvestigasi bentuk-bentuk hubungan yang ada antara sebuah tanda dan obyek yang mengacunya, atau dalam peristilahan Saussure, antara penanda dan petanda. Satu hal yang berbeda dipaparkan oleh C.S. Peirce yang membedakannya atas ikon, indeks dan simbol. Ketika ada kemiripan antara tanda dan yang diacunya, maka disebut ikon misalnya foto dan obyek nyatanya atau diagram sebuah mesin dan mesin yang sebenarnya. Tatkala tanda sangat terkait dengan yang ditandanya, seringkali dalam hubungan kausal, maka disebut indeks. Misalnya asap pertanda ada api. Disaat ada suatu hubungan konvensional antara tanda dan yang ditandainya, disebut simbol, seperti jika ada suatu kemalangan sering dilambangkan dengan kain serba hitam tapi sebagian juga mengenakan kain putih. Ini tentu tergantung budaya.
Saussure dengan jelas membedakan Semiotik dari studi bahasa diakronik dan sinkronik. Dalam upaya membuat studi sinkronis lebih persuasif, dia menggambarkan pembedaan yang lain kemudian membagi bahasa ke dalam tiga level yaitu langage, yang dimaksudkan adalah kapasitas manusia untuk membangkitkan system komunikasi terstruktur. Langue, atas apa yang kita anggap sebagai bahasa, seperti Bahasa Inggris, dan parole, sebagai penggunaan bahasa tertentu oleh seseorang. Langue, masih menurut Saussure, menjadi fokus studi sinkronis yang mengacu pada sistem aturan dan konvensi yang mandiri. Dalam Semiotik kontemporer, pembedaan langue – parole digeneralisasi pada sistem Semiotik dan penggunaannya secara tertentu.
Leech (1981) memaparkan makna linguistik dapat dipilah atas tujuh tipe makna: konseptual, konotatif, kolokatif, sosial, afektif, refleksif dan tematik. Pada lingkup lebih luas disebutnya sebagai makna asosiatif.
Partee (1999) mengemukakan The meaning of an expression is a function of the meanings of its parts and of how they are syntactically combined. Kebanyakan teori Semantik eksplisit terutama bidang Semantik formal menerimanya sebagai prinsip kerja dasar.
Hubungan antara makna dan penggunaan tanda bahasa terletak pada pembedaan antara “sentence meaning” yaitu makna literal sebuah kalimat secara abstrak terpisah dari konteks tertentu; dan “speaker’s meaning”, yaitu interpretasi yang dimaksudkan atas ujaran tertentu pada satu kalimat (Austin, 1962).
Pendekatan strukturalis dalam Semantik selalu dikaitkan dengan asumsi dari Wittgenstein yang menyatakan bahwa meaning is use (makna adalah penggunaannya) yang memungkinkan kriteria objektif untuk memahami domain Semantik dari asumsi koherensi leksikal (Gliozzo, 2005).
Fry (2005) berpendapat bahwa Semantik sebagai ilmu yang mempelajari tentang makna dalam bahasa meliputi makna kata itu sendiri (Semantik leksikal) dan makna satuan yang lebih besar seperti kalimat. Semantik telah menjadi daya tarik bagi para filsuf dan logician tentu kembali lagi harus mengacu pada Plato dan Aristotle. Sekarang ini, Semantik dipelajari oleh para linguis, ahli psikologi, filsuf, dan yang lainnya dengan teori-teori yang berbeda misalnya linguistik kognitif yang meyakini bahwa makna pangkalnya ada di dalam pikiran dan fisik; Semantik formal (logis) menganggap makna sebagai kondisi kebenaran (truth condition); dan Semiotik yang memandang makna sebagai sistem tanda yang abstrak.
Frege (1848-1925) seorang logisian Jerman dalam Fry (2005) membedakan kata atas reference – tentang apa yang diacu dalam realita atau konten kognitifnya. Reference menghubungkan kata-kata pada realita entitas. Lalu perbedaan kedua adalah sense yang berhubungan dengan kata-kata dengan yang lainnya dalam bahasa. Misalnya sense bahwa Hesperus adalah “bintang malam” dan sense bahwa Phosphorus sebagai “bintang pagi”, walaupun sebenarnya acuannya sama yaitu planet Venus. Jadi sense merupakan apa yang kita tanggap ketika kita memahami sebuah kata.
Frege menambahkan bahwa ada enam aspek dari makna ujaran, yaitu makna gramatikal dimana Semantik berperan seperti agen, pasien, tujuan yaitu tentang siapa melakukan apa terhadap siapa dalam sebuah kalimat; makna prosodik yang fokusnya pada penekanan dan pola intonasi dalam ujaran seperti “Oh, that’s just great!”; makna afektif sebagai konotasi emosional yang melekat pada satu ujaran seperti “hore!”; makna pragmatik tentang bagaimana ujaran berfungsi dalam konteks, misalnya “Can you pass the salt?”; makna sosial yang dapat diwakili oleh dialek dan register misalnya “Good morning, sir.”; dan makna proposisional yang dinyatakan dengan proposisi logika tentang pernyataan benar atau salah misalnya “It’s raining in Depok.”
Sebagai simpulan bahwa Semantik merupakan sub-struktur dari Semiotik. Baik Semantik dan Semiotik keduanya menggali makna, namun cakupan Semiotik lebih luas dari cakupan Semantik. Dalam menggali makna ini tentu tidak bisa lepas dari konteks.
Acuan:
Austin, J.L. 1962. How to Do Things with Words. London: Oxford University Press.
Cruse, D.A. 1986. Lexical Semantics. Cambridge: Cambridge University Press.
Darmojuwono, Setiawati. 2005.
Fry, John. 2005. Semantics : Introduction to Linguistics. Spring 2005, SJSU
Gliozzo. 2005. Semantic Domains in Computational Linguistics. Ph.D. thesis, University of Trento.
Gumperz, John J. 1982. Discourse Strategies. Cambridge: Cambridge University Press.
Leech, G.N. 1981. Semantics. 2nd Ed. Harmonsworth: Penguin.
Lyons, J. 1977. Semantics. 2 Volumes. Cambridge: Cambridge University Press.
Lyons, J. 1981. Language, Meaning and Context. London: Fontana.
Lyons, J. 2000. Linguistic Semantics: An Introduction. Beijing: FLT & P Press
Nöth, Winfried. 1990. Handbook of Semiotics. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press.
Ogden, C.K. dan I.A.Richard. 1952. The Meaning of Meaning. London: Routledge & Kegan Paul ltd.
Partee, Barbara H. 1999. "Semantics" in R.A. Wilson and F.C. Keil, eds., The MIT Encyclopedia of the Cognitive Sciences. Cambridge, MA: The MIT Press. 739-742.
Rahyono, F.X. 2005. Kearifan Dalam Bahasa. Makara, Sosial Humaniora Vol.9 No.2 Desember 2005.
Saeed. J. I. 2000. Semantics. Beijing: FLT & P Press
Saussure, F. de. 1988. Pengantar Linguistik Umum. Terjemahan: Rahayu S. Hidayat. Seri ILDEP. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sebeok, Thomas A. 1994. An Introduction to Semiotics. London: Pinter.
Zaimar, Okke dan Ayu Basoeki Harahap. 2009. Telaah Wacana. The Intercultural Institute, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar